Kerajaan Yang Pernah Berkuasa Di Lombok

Kerajaan Yang Pernah Berkuasa Di Lombok

 



1. Kedatuan Lae’

Gumi Lombok pada masa lampau memiliki sejarah kedatuan (kerajaan), seperti Kedatuan Lae’ diungkap dalam Babad Lombok (Suparman, 1994,67-68). Kutipan dalam Babad Lombok tersebut berbunyi: “dan tumedun hangaraya samiya gingsir hemahe ring kana, wusing aran Desa Laeq, halu pirahing riku, sayan katah wong ira dadi“ (maka turun membuat desa, semua memindahkan rumah disitu, sudah diberi nama desa atau Kedatuan Lae’, beranak pinak di situ, makin banyak mereka, lebih seratus ribu). 

Keberadaan Kedatuan Lae' dimaksud diperkirakan berada di sekitar Sambelia Lombok Timur, kemudian pindah dan membangun desa (kedatuan) baru disebut dengan nama Kedatuan Pamatan Perpindahan dari Kedatuan Lae’ ke Kedatuan Pamatan diungkap dalam Babad Lombok (Suparman, 1994: 85) berbunyi: “Kewala wus medaling nagari, Desa Lae’ punika dan tinggal, sami tumedun wong ngakeh, hapindah saking riku, malih pada ngawe nagari, sireng bumi Pamatan, hakumpul hing riku, hanggawe kua balumbang, wus samapta, lalarenpo pada nginggil, wus kukuh jang nagara”. 

Asalkan sudah keluar desa, Desa Lae’ itu ditinggalkan, semua turun si orang banyak, berpindah dari situ, lagi membuat desa, di bumi Pamatan, berkumpul di situ membuat banteng kota, sudah siap semua, pagar siap semua, pagar dan tembok tinggi, sudah kukuh kotanya.

Informasi lain, seperti dalam Babad Suwung disampaikan bahwa kedatuan pertama di Gumi Lombok yakni Kedatuan Suwung, mungkinkan kedatuan dimaksud dalam babad ini ialah Pamatan dalam Babad Lombok? Kedatuan Suwung ini kira-kira terletak di antara Sambelia dan Sugian sekarang, sedangkan letak Pamatan ada yang menduga di Sembalun sekarang (TPMD-NTB, 1977:10).

2. Kedatuan Selaparang-Hindu

Saat Majapahit mengirimkan ekspedisi penaklukan ke Pulau Bali tahun 1343, ekspedisi tersebut diteruskan ke Gumi Lombok di bawah pimpinan Mpu Nala. Tujuannya menaklukkan Selaparang, setelah itu Gadjah Mada datang tahun 1344. Daerah ini dikenal dengan nama Selapawis. Sela berarti batu dan pawis berarti ditaklukan. Selapawis berarti daerah yang ditaklukan. 

Kedatangan Gajah Mada ini dapat dibuktikan dengan adanya prasasti, salah satunya ditulis dalam memoar yang disebut bencangah punan (TPMD-NTB, 1977: 12).

Runtuhnya Kerajaan Majapahit di Jawa memunculkan kerajaan-kerajaan yang pernah ditaklukkan, bukan hanya di Jawa, namun juga di luar Jawa. Kerajaan yang pernah ditaklukkan di luar Jawa, seperti munculnya Kerajaan atau Kedatuan Selaparang bercorak Hindu. 

Perkembangannya Kedatuan Selaparang semula berada di daerah pesisir dengan alasan keamanan, kemudian dipindahkan ke Selaparang. Daerah Selaparang terletak di dataran tinggi sehingga memudahkan untuk mengamati kapal yang datang dari sebelah utara maupun sebelah barat, baik itu kapal para pedagang maupun kapal musuh yang akan menyerang ke Selaparang sehingga memiliki tingkat keamanan yang lebih tinggi dari serangan musuh.

3. Kedatuan Mumbul

Runtuhnya Kedatuan Selaparang bercorak Hindu memunculkan kedatuan￾kedatuan kecil di Gumi Lombok, di antaranya Kedatuan Mumbul berpusat di Labuan Lombok. Silsilah raja di Labuhan Lombok dapat digambarkan: Kaesari Prabu Tunggul Ametung → Demung Mumbul → Prabu Indrajaya → Raden Mas Panji Anom → Raden Mas Panji Tilar Negara → Raden Mas Panji.

Setelah mangkatnya Demung Mumbul maka naik puteranya bernama Pangeran Indrajaya (versi lain menyebut nama raja di Labuhan Lombok Prabu Rangkesari) (TPMD-NTB, 1977: 13).

4. Kedatuan Sasak

Kedatuan yang pernah ada sekitar abad ke-9 sampai abad ke-11. Kedatuan Sasak tidak disebut di dalam Babad Lombok maupun Babad Suwung (Babad Ama Ara). Adanya Kedatuan Sasak diketahui dari sebuah kentongan perunggu yang tersimpan di Pujungan-Tabanan-Bali, pada badan kentongan itu tertulis menggunakan huruf kwadrat berbunyi: “Sasak dana prihan”, dan sebaliknya berbunyi: “...srih jaya nira” (Kentongan ini adalah suatu peringatan kemenangan atas Negara Sasak) dibuat kira-kira zaman Anak Wungsu (1077), dan kini kentongan itu dianggap mempunyai kesaktian dan lambing kejayaan (TPMD,1977: 13).

5. Kedatuan Kedaro

Kedatuan Kedaro terletak dekat Belongas sekarang. Raja pertama dari Jawa bernama Ratu Maspahit. Raja dibawa ikan besar dan terdampar di Kedaro. Tulang ikan tersebut masih ada sampai sekarang. 

Di bekas letak Kedatuan Kedaro banyak terdapat kulit lokan dan tempat itu dianggap tempat yang keramat. Dari Kedaro kedatuan ini pindah ke Pengantap dengan nama Kedatuan Samarkaton (TPMD, 1977: 13-14). 

6.Kedatuan Langko

Kedatuan Langko terletak 12 km dari sebelah selatan Desa Kopang sekarang. Awal leluhur dari pituah Datu Lombok bernama Batara Mumbul asal dari Majapahit, keturunan dari Brawijaya nama Tunggul Ametung. Batara Mumbul datang ke Lombok dengan beberapa orang, membuat kota di Gumi Lombok, beberapa tahun kemudian pindah ke Selaparang dengan seorang puteranya bernama Prabu Indarjaya (TPMD, 1977).

7. Kedatuan Pejanggik

Sejak abad ke-16, di Lombok Tengah terdapat sebuah kedatuan yang makin lama makin besar kekuasaannya. Kedatuan ini bernama Pejanggik dan raja pertama bernama Nene’ Mas Komala Dewa, awalnya. 

Kedatuan ini merupakan desa kecil dan rakyatnya sedikit. Zaman Majapahit kedudukannya hanya sebagai kabupaten, sedangkan Klungkung merupakan kadipaten, untuk meramaikan penduduk, didatangkan serombongan transmigrasi dari Klungkung ke Pejanggik untuk menjadi tukang masak dan tukang kayu kerajaan (TPMD￾NTB, 1977: 16).

Setelah lampau beberapa turunan, terutama setelah perkembangan Islam, sewaktu di bawah pemerintahan Pemban Mas Meraja Kusuma, kedatuan menjadi berkembang, terlebih setelah Banjar Getas diangkat menjadi senapati.

Kedatuan-kedatuan kecil yang ada di sekitarnya, seperti Tempit, Kentawang, Kuripan, dan lain-lain ditaruh menjadi jajahan langsung dan pimpinannya hanya berpangkat demung, hal ini menyebabkan raja-raja kecil itu sakit hati pada Pejanggik. Keadaan ini mendapat perhatian dari Karangasem yang selalu ingin menanamkan kekuasaannya di Pulau Sasak atau Gumi Lombok (TPMD NTB, 1977: 16).

8. Kedatuan Pujut

Salah seorang keluarga raja Majapahit (Jawa) bernama Sri Maharaja Mas Mulia dengan diikuti 17 (tujuh belas) keluarga pengiringnya meninggalkan Majapahit dan sampai di Klungkung (diperkirakan masa Gelgel) sewaktu Dewa Agung Putu Alit menjadi raja. Dari Majapahit ia membawa pejenengan bernama Pa’ling. Ia kawin dengan putri raja Klungkung bernama Ratu Diwatingpura, karena Pulau Bali sangat sempit, maka ia dititahkan oleh mertuanya agar mencari tanah kerajaannya, dan dari mertuanya ia memperoleh senjata (tombak) bernama ratna bulu (TPMD-NTB, 1977: 20)

Sewaktu perjalanannya mencari wilayah kerajaan, ia ditolong oleh seekor kijang yang dilepasnya dari ikatan tandan, dan ia diseberangkan oleh seekorpenyu besar yang dibantunya dari kekandasan. Selama pengembaraannya ketimur, sampailah ia di sebuah bukit. Di sana ia memuji pada Tuhan, kemudian bukit tersebut menjadi Gunung Puji, di kemudian hari bukit tersebut berubah menjadi Pujut, dan menjadi nama desa (wilayah) sekitar gunung itu. 

Setelah menjumpai tempat baru itu, ia kembali ke Klungkung menjemput istri dan pengiringnya. Sebelum berangkat, Sri Maharaja Mas Mulia dipesan oleh mertuanya, agar persaudaraan antara yang pergi dengan yang ditinggalkan tidak putus, baik dalam kesenangan maupun dalam kedukaan (TPMD-NTB, 1977:20)

9. Kedatuan Parwa

Informasi mengenai Kedatuan Parwa tidak banyak sumber atau rujukan, namun keberadaan Kedatuan Parwa disebut pada masa keruntuhan Majapahit. Keruntuhan Majapahit menyebabkan muncul kedatuan-kedatuan kecil di Gumi Lombok, salah satunya Parwa. Kedatuan Parwa merupakan kedatuan kecil yang mengakui Kedatuan Selaparang sebagai induk atau kakaknya. Hubungannya penuh dengan persaudaraan, hidup rukun, damai, dan tidak ada gesekan.

Kedatuan Parwa disebut setelah penyerangan Karangasem ke Pejanggik, Langko, dan Suradadi yang bersekutu dengan Banjar Getas. Kedatuan Parwa dikepung dari segala penjuru. Dua tahun lamanya peperangan tiada henti.

Serangan sekutu semakin diperhebat, melihat peperangan yang tiada hentinya, maka Raja Parwa moksa. Kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Pangeran Sangupati. Di bawah kendali Sangupati rakyat Parwa mengadakan perlawanan dengan hebat, sehingga perang telah berjalan tiga tahun tanpa ada hentinya (TPMD, 1977: 18).


Selama perang, kondisi pertanian terbelangkai, hewan-hewan peliharaan banyak sakit dan mati, kemarau panjang, dan rakyat Parwa kekurangan air dan makanan, maka Pangeran Sangupati mengirim utusan ke Selaparang untuk minta bantuan, namun bantuan tidak dapat diberikan, karena Selaparang juga sedang menanti serangan sekutu. Tidak beberapa lama, Pangerang Sangupati mangkat dan dimakamkan di Parwa, akibatnya Parwa jatuh ke tangan sekutu. 

Mendengar Kedatuan Parwa kalah dan jatuh ke tangan sekutu, raja Selaparang melarikan diri ke Siren (Sumbawa) (TPMD, 1977: 18). 

10. Kedatuan Banjar Getas

Pusat Kedatuan Banjar Getas yakni Memela’. Raja pertamanya Arya Banjar Getas. Ia banyak membantu Kedatuan Pejanggik dalam melebarkan sayap kekuasannya dengan menggunakan politik rerepeq. Langkah awal yang dilakukan Banjar Getas adalah mengonsolidasikan kekuasaannya ke wilayah-wilayah kedemungan yang semula dikuasai Pejanggik dan dijadikan sebagai pemegangkekuasaan di daerahnya dengan sebutan perkanggo (penguasa).


Kebijakan Banjar Getas adalah membangun pasar dan masjid dengan kekerasan dan kekuatan prajurit, dan melaksanakan syariat Islam. Sistem pemeritahan belum dapat teratur, karena banyak kekacauan. Tempat-tempat yang telah taklukkan, demung atau rangga atau raden-rade yang memegang kekuasaan atau pemerintahan (perkanggo) dengan tidak dipungut pajak/upeti.


Namun demikian, Kedatuan Banjar Getas terus menerus mendapat gangguan dari luar. Semasa pemerintahan Banjar Getas, tercatat kekacauan, seperti: (a) serangan Datu Bayan dan Datu Buluran, dan kedua raja itu menyerbu Pringgabaya, serangan terebut dapat ditahan, dan keduanya tewas dalam pertempuran; (b) serangan yang dipimpin oleh Datu Kadinding, serangan pun dapat dipatahkan; (c) pembrontakan Selaparang, namun dapat dipatahkan, dan sebagian rakyatnya diboyong ke Sekarbela, Dasan Agung, Midang dan Rembiga, (d) pembrontakan Datu Semong, raja Sumbawa, dan Datu Semong tewas, karena pengkhinatansaudaranya. Pembrontakan ini dilanjutkan oleh pembantu-pembantunya sampai tahun 1725 (TPMD, 1977: 18-19, Muliadi, 2014). 

Keberhasilan Banjar Getas menangkal setiap pembrontakan dari luar, dikarenakan bantuan Gusti Ktut Karangasem.

11. Kedatuan Sakra

Setelah kedatuan-kedatuan di Gumi Lombok ditaklukkan oleh Karangasem dan Banjar Getas, timbul persaingan di antara mereka. Mengetahui adanya persaingan itu, Pemban Panganten Purwa diam-diam mengirimkan para pengiring atau pengawalnya dan mengambil tempat di gawah (hutan) Pengkalik Tanaq, di seberang kali utara Purwadadi. Tempat ini yang dianggap sebagai cikal bakal berdirinya kedatuan atau kerajaan baru yang sekitar tahun 1870 diberi nama Sakra (Muliadi, 2014) 


Didukung oleh para demung di zaman Pejanggik dulu yang merasa kecewa, namun akhirnya merasa prihatin, karena kehilangan pemimpin, dengan cepat daerah Sakra pun berkembang. Beberapa tahun kemudian Pemban Penganten Purwadadi memerintahkan adiknya Deneq Laki Mas Orpa menyusul pulang ke Gumi Lombok, menempati sisi selatan, yakni di daerah Pijot dianggap lebih mudah untuk menjalin hubungan ke Sumbawa. Terakhir baru putra Pemban Penganten sendiri, Pemban Ilang Mudung yang juga menjaga dan menempati pesisir timur.


Sebelum kembali ke Gumi Lombok, Pemban Ilang Mudung telah kawin dengan seorang putri bangsawan Sumbawa, sedangkan Deneq Mas Orpa, mempunyai seorang putri hasil perkawinannya dengan bangsawan Sumbawa, putri itu bernama Putri Bini Ringgit dalam perkembangan sejarah Sakra memiliki peran yang sangat besar (Muliadi, 2014). 


Tahun 1800 datang rombongan dari Gowa di bawah pimpinan Karaeng Manajai menilik keadaan bekas wilayah kekuasaan Gowa, Manggarai, Bima, Dompu, Sumbawa dan Lombok. Di Gumi Lombok, ia menemukan Selaparang yang sudah runtuh dan menyaksikan jejak jejak Kedatuan Pejanggik yang masih mempunyai hubungan darah dengan Selaparang. Jalur dari Labuan Lombok, ia kemudian berlayar menuju Labuan Tanjung Luar menemui Deneq Laki Mas Orpa. 

Terjadi kesepakatan perkawinan yang berbau politik antara Pemban Bini Ringgit putri dari Deneq Laki Mas Opra dengan Karaeng Manajai. Sebelum perkawinan dilangsungkan, Karaeng Manajai kembali dulu menyelesaikan urusannya di Gowa.

Tahun 1805 Karaeng Manajai kembali untuk menetap di Gumi Lombok dan kawin dengan Pemban Bini Ringgit. la ditugaskan di wilayah Ganti yang berbatasan dengan Banjar Getas. Perkawinan tersebut menghasilkan seorang putra bernama Dewa Mas Panji Komala yang nantinya dalam usia yang sangat muda, memimpin perlawanan pertama Sakra terhadap kekuasaan Karangasem. Seorang lagi putri hasil perkawinan Karaeng Manajai dan Pemban Bini Ringgit bernama Denda Bini Nyanti.

Perkawinan Pemban Bini ringgit dengan Karaeng Manajai dari Gowa ternyata cukup meresahkan musuh bebeyutannya, yakni kerajaan-kerajaan di Bali. Mereka resah dan sangat mengkhawatirkan kondisi Karangasem yang sedang dilanda persoalan internal antarpuri dan berpotensi terjadi perang saudara antara Mataram, Pagesangan, Pagutan, dan Singasari yang dianggap lebih tua. Oleh karena, pihak Karangasem segera mendekati Sakra serta menuntut perlakuan yang sama melalui perkawinan politik.

Agaknya yang diincarnya adalah Dende Bini Nyanti. Namun, pihak Sakra justru hanya mengirimkan puluhan gadis dari kalangan orang biasa untuk dipilih, semuanya lantas ditolak dan dikembalikan. Raja Karangasem kemudian menyatakan akan datang sendiri dengan segala kehormatan dan kebesarannya (Muliadi, 2014).

Menyikapi rencana raja Karangasem tersebut, terjadi silang pendapat dan pengelompokan. Mereka yang moderat dari kalangan para tetua, terutama Karaeng Manajai, berpendapat sebaiknya tawaran raja Karangasem tersebut diterima dengan sikap politis. Hal itu dilakukan untuk menyiapkan diri terhadap kemungkinan yang akan terjadi, bila memang sudah waktunya untuk merebut kembali tongkat yang hilang bisa dengan mudah merebutnya dari pihak Karangasem yang terancam perang saudara, jika diperlukan dapat meminta bantuan Sumbawa dan Gowa untuk mencapai tujuan itu. Di samping itu, jika Karangasem benar-benar dilanda perang saudara, siapa tahu melalui perkawinan bisa ditaklukkan tanpa kekerasan (Muliadi, 2014). 

Penyebab runtuhnya Kedatuan Sakra, yaitu: (1) Raden Surjaya, perkanggo Sakra merangkap telik (mata-mata) korup, pajak tidak disetor ke Mataram, karena Suryajaya takun akan dihukum; (2) sebagian besar pemimpin orang Sasak di Sakra gelisah dan menginginkan mati dari pada anaknya akan diperistri raja Mataram, dan (3) sejak lama Datu Mas Panji Komala menanti-nanti saat yang baik untuk memaklumkan perang pada kekuasaan Bali (Mataram,Pagutan, dan Singasari) (TPMD-NTB, 1977: 22)

12. Kedatuan Selaparang-Islam

Setelah Kedatuan Lombok memeluk Islam, atas usul Patih Banda Yudha, ibukota kedatuan dipindahkan ke Watu Parang dibekas Kedatuan Selaparang￾Hindu. Perpindahan didasarkan dengan pertimbangan bahwa, Selaparang lebih strategis, tidak mudah diserang dari darat, apalagi dari laut, sedangkan di Lombok mudah sekali diserang dari darat maupun maupun dari laut.

Kedatuan-kedatuan kecil lainnya, seperti Sokong, Bayan, Parwa, Langko, dan Pejanggik merupakan negara Selaparang menjadi aman dan makmur di bawah Prabu Rangkesari yang adil. Versi lain mneyebutkan setelah Prabu Rangkesari Raja Lombok memeluk Islam, ia ditinggalkan oleh rakyatnya, karena malu, ia menghilang (moksa) di suatu tempat, tempat tersebut dibuat sebuah makam dengan nama makam bawaq bakang (TPMD, 1977: 15). Makam bawaq bakang ini dekat dengan Desa Suntalangu Kec. Suela Sekarang Perkembangannya, atas bantuan Sunan Prapen, dipilih seorang raja bernama Raden Mas Pakenak.

Setelah itu, tidak terdengar lagi informasi lagi, kerajaan-kerajaan sekitarnya mulai bergejolak oleh pengaruh luar, seperti:  kepesatan agama Islam, dan kerakusan VOC yang selalu merebut pasaran dengan sistem monopoli. Kedua hal tersebut membuat pihak Klungkung dan Makassar khawatir. Klungkung sebagai bekas adipati (gubernur) Majapahit atas Bali dan Lombok merasa terancam oleh pesatnya perkembangan Islam dari barat (Pasuruan), dari timur (Lombok), terlebih Lombok masih tetap dianggap sebagai wilayahnya, oleh karena itu Klungkung selalu ingin menegakkan kekuasannya di Lombok.

Pihak lain, Kerajaan Makassar di bawah Alauddin mempunyai kepentingan untuk membendung kekuasaan VOC di selatan, maka Lombok dan Sumbawa menjadi incaran. Namun, campur tangan secara langsung di kedua pulau ini, berarti akan terjadi bentrokan senjata antara Makassar dan Klungkung yang oleh kedua kerajaan ini tidak menghendaki adanya bentrok tersebut. Tahun 1618, Karaeng Morowangeng menaklukkan Sumbawa, tahun 1623 Sumbawa langsung di bawah Makassar, dan tahun 1624 diadakan Traktaat Makassar-Bali (Alauddin-Saganing) (TPMD-NTB, 1977: 15).

Masa ini, Kerajaan Selaparang, Pejanggik, dan Parwa, kesusastraan sangat maju, berpuluh-puluh lontar (babad) dikarang. Isinya banyak mengandung agama, filsafat, sejarah, dan dongeng. Seorang tokoh agama dan pujangga yaitu Pengeran Sangupati. Karangan digubah dalam bentuk kakawin dan ditulis dengan hurup Jejawan (Sasak) dalam Bahasa Kawi.

13. Kedatuan Karangasem Bali

Berdirinya Kedatuan Singasari atau Karangasem-Sasak, karena orang-orang Bali sudah semakin banyak di Gumi Lombok, akhirnya orang-orang Bali di wilayah kekuasaannya mendirikan beberapa buah desa yang merupakan kedatuan-kedatuan kecil, seperti Kedatuan Singasari (Karangasem-Sasak) dengan raja Anak Agung Ngurah Made Karang (1720). 

Kedatuan Karangasem menunjuk wakilnya di Gumi Lombok, yaitu Kedatuan Singasari (Karangasem-Sasak), dan hubungannya atas dasar kekeluargaan untuk mencapai kemakmuran dan kepentingan bersama. Upaya memperkuat persatuan ini, raja Singasari mendirikan Pura Meru di Singasari tahun 1774. Kedatuan Singasari bertindak sebagai ketua di dalam sebuah pemerintahan federasi. 

Pagesangan berposisi sebagai patih, sedang Kediri dan Sekongo dilebur menjadi bagian dari Pagutan, Kuripan terpencil sendirian. Kedatuan Singasari (1740-1838) berturut-turut diperintah oleh tiga raja dengan gelar yang sama, yaitu I Gusti Made Karangasem (I, II, dan III). Masa ini terjadi gelombang perpindahan orang Bali ke Gumi Lombok secara besar-besaran, dalam menjalankan pemerintahannya, untuk urusan ke bawah diserahkan pada para punggawa, sedangkan untuk menarik pajak pada rakyat Sasak diserahkan pada petugas berasal dari Suku Sasak. 

14. Kedatuan Mataram

Kedatuan Mataram sebagai penguasa tunggal di Gumi Lombok berturut-turut diperintah oleh tiga datu. Pertama Anak Agung Ktut Karangasem IV (1838-1850) mengonsolidasikan Mataram sebagai kedatuan tunggal bercorak sentral dan represif.


kedua Anak Agung Made Karangasem (1850-1872) di bawah raja ini dilakukan renovasi atas taman Kelepug menjadi taman Mayura, dibangun juga Pura Meru, taman Suranadi, Lingsar, dan dirintis pembangunan taman Narmada yang diberi ukir kawi, dan selesai tahun 1866. Cakranegara (negara yang bulat bersatu) ditata sebagai pusat pemerintahan. 


Raja terakhir paling bungsu adalah Anak Agung Gde Ngurah Karangasem (1872-1894) dinobatkan sebagai datu diusia 70 tahun lebih.


Sistem pemerintahan yang digunakan masa itu pemberian hak otonomi terbatas pada desa di wilayah Timuq Juring. Setiap desa mengangkat pemuka desa untuk memungut upeti dan pajak, tetapi mereka mendapat pengawasan langsung dari orang Bali. Upaya memantapkan dan menegakkan kekuasaannya, Anak Agung membuat peraturan, yakni: 

(1) peraturan tentang pertanahan; 

(2) menghapus gelar “raden” bagi orang Sasak; (3) menghapus prasasti dan silsilah bagi orang Sasak; 

(4) memperluas perjudian sabung ayam; 

(5) pembagian harta peninggalan didasarkan patriarki (jika seseorang meninggal dengan tidak mempunyai anak laki-laki, maka harta peninggalannya itu menjadi hak milik raja); 

(6) pemberian gelar “jero” bagi pimpinan Sasak, dan 

(7) pemerasan tenaga kerja untuk pengabdian pada raja 


Sumber : Buku Pepadu Sasak 

Karya : Mastur Sansoka 


Tags

Post a Comment