DPW KSPN NTB Kritisi UU Cipta Kerja Secara Intelektual.

DPW KSPN NTB Kritisi UU Cipta Kerja Secara Intelektual.

 

Ketua DPW Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) NTB L. Iswan Muliyadi 

MATARAM - Sejak ditetapkannya UU Omnibuslow Cipta kerja memunculkan keresahan dan polemik berkepanjangan terutama di kalangan masyarakat. Melihat kondisi itu, Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Nusa Tenggara Barat melakukan kritikan. Kritikan tersebut dilakukan secara intelektual dengan menggelar diskusi publik bersama perwakilan Organisasi Kepemudaan (OKP), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) se-NTB dengan menghadirkan para pakar di Hotel Fave Mataram Senin (19/10).

Ketua DPW Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) NTB L. Iswan Muliyadi mengatakan, Diskusi Publik yang digelarnya bertemakan "Mengkritisi UU Omnibuslaw Cipta Kerja Secara Intelektual", Sehingga dalam kegiatan itu, pihaknya menginginkan agar para penerus bangsa bisa memahami kemungkinan terburuk yang bisa terjadi, dan mengajak semua kalangan intelektual agar bersama-sama memperhatikan kondisi dan keadaan indonesia atas kegaduhan yang di lahirkan akibat UU tersebut.

"Selain aksi turun jalan, kami juga menguji materi UU ini, dengan menghadirkan para pakar," Sebutnya.

Dalam Materinya akademisi Universitas Muhammadiayah Mataram Dr Hilman Syahrial Haq L.LM menerangkan, UU cipta kerja menjadi produk hukum yang nantinya akan diterapkan dimasyarakat, namun sebelum ditetapkan, sebenarnya produk tersebut harus ada proses evaluasi yang dilakukan pemerintah. Sebab dalam setiap UU yang di keluarkan tentu akan menimbulkan pro kontra di masyarakat.

Untuk itu Ia mengajak para peserta agar lebih jeli dalam melihat siapa yang mewakili masyarakat bersuara di pemerintahan. mengingat produk yang disusun itu, akan berefek panjang dan berdampak dalam kehidupan masyarakat.

"Seharusnya metode yang dipakai dalam. produk hukum ini diatur berdasarkan kebiasaan masyarakat. Tapi di indonesia memakai proses yang baru,"Katanya.

Ia menilai produk hukum yang telah ditetapka itu, cacat karena tidak memperhatikan nilai-nilai filosofis, kebutuhan masyarakat, tetapi lebih mementingkan kebutuhan pemerintah.
Maka akan menimbulkan konflik berkepanjangan.

Berkaca dari negara lain produk hukum yang lahirkan tetap melalui kebiasaan masyarakat, berbeda halnya dengan yang terjadi di Indonesia, Produk yang dikelurakan bertolak belakang dimasyarakat dan menjadi kebiasaan baru di tengah masyarakat nantinya.

"Kalau memang benar UU ini diambil dari kebiasaan masyarakat, maka tidak akan ada reaksi seperti saat ini, dari reaksi ini masyarakat sudah bisa menilai," katanya.

Pakar Hukum Unram Dr. Ufran dalam  penjelasnya mengatakan, Persoalan yang timbul ketika masyarakat diminta membaca dan memahami UU tersebut tentu sulit difahami karena semua pasal yang terkandung mempunyai interperetasi mendalam. Sehingga sebelum ditetapkan, tata cara pembentukan UU tersebut harus disosialiasikan kepada panggung masyarakat tertentu yang memang bisa mewakili seluruh elemen.

"Kampus panggung intelektual, tapi pemerintah tidak pernah mensosialisasikan UU tersebut disana. Dan

"Jika ada produk legislasi yang buruk, berarti nalar kritis kita yang harus dikembangkan," ujarnya. (np).

Tags

Post a Comment